×

Notice

SMTP connect() failed.

SMTP connect() failed.

SMTP connect() failed.

SMTP connect() failed.

SMTP connect() failed.

SMTP connect() failed.

SMTP connect() failed.

SMTP connect() failed.

SMTP connect() failed.

SMTP connect() failed.

Petir; suatu fenomena alam semesta yang berjasa luar biasa besar terhadap adanya kehidupan di muka Bumi. Tanpa-nya, mungkin tidak akan terbentuk DNA/Protein dasar yang membentuk makhluk hidup saat ini. Tapi kali ini kita tidak membahas tentang hal tersebut. Seperti biasanya, jika dibahas akan melahirkan perdebatan baru antara teori Kreationisme dan Darwinisme. Not this time!

Salah satu cerita rakyat menarik tentang petir terjadi di sekitar daerah Demak - Jawa Tengah, tentang ki Ageng Selo - sang Penangkap Petir.

Dalam kitab Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa Ki Ageng Selo adalah keturunan Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Pernikahan Prabu Brawijaya V dengan Putri Wandan Kuning melahirkan Bondan Kejawen atau Lembu Peteng. Lembu Peteng yang menikah dengan Dewi Nawangsih (putri Ki Ageng Tarub) menurunkan Ki Ageng Getas Pendawa. Dari Ki Ageng Getas Pendawa lahirlah Bogus Sogom alias Syekh Abdurrahman alias Ki Ageng Selo. Makam ki Ageng selo di desa Tawang, Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.Secara garis keturunan, ki Ageng Selo adalah cicit dari Prabu Brawijaya V; Prabu Brawijaya V -- Lembu Peteng -- Ki Ageng Getas Pendawa -- Ki Ageng Selo.

Dikisahkan bahwa pada suatu hari Ki Ageng Sela yang tinggal di desa Tawang, Purwodadi pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar-benar hujan lebat turun. Petir atau bledheg menyambar persawahan, membuat warga desa yang di sawah pontang panting menyelamatkan diri. Tetapi Ki Ageng Sela tetap mencangkul sawah. Tiba-tiba dari langit muncul petir menyambar Ki Ageng. Petir itu konon berwujud seorang kakek-kakek, dan dengan ilmu yang dimiliki ki Ageng Selo menangkap petir tersebut. Dan berujar dengan lembut;

“Wahai, Kilat. Berhentilah mengganggu penduduk sekitar,” kata Ki Ageng Selo kepada petir yang berada di tangannya.

“Baiklah. Aku tidak akan mengganggu penduduk lagi, juga beserta anak-cucumu,” jawab Petir.

 

 

Oleh Ki Ageng Selo petir itu kemudian diikat di pohon Gandrik. Lega hati penduduk desa, mereka menyambut Ki Ageng Selo penuh rasa haru dan menyalami tangannya dengan mencium tangannya. Setelah hari sore, selesai mencangkul ki Ageng pulang sambil membawa petir tadi. Keesokan harinya ki Ageng ke pusat kesultanan Demak dan sang Bledheg (Petir) pun dihaturkan kepada Sultan Trenggana di Demak. Oleh Sultan Trenggana, “Bledheg” ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun-alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat wujud “Bledheg“ itu. Entah datang dari arah mana, tiba-tiba datanglah seorang nenek-nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “Bledheg“ dan diminumnya.

 

Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “Bledheg” tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “Bledheg” hancur berantakan.

 

 

Sebagian masyarakat Jawa sampai saat ini apabila dikejutkan bunyi petir akan segera mengatakan bahwa dirinya adalah cucu Ki Ageng Selo, dengan harapan petir tidak akan menyambarnya.“Masyarakat di Jawa, khususnya di pedesaan masih percaya pada mitos ini, bila terjadi petir berteriak sambil berkata, "Gandrik! Aku Putune Ki Ageng Selo" (“Gandrik, Aku cucu Ki Ageng Selo"). Mengatakan kalimat itu sambil  berdiri tegak dengan mengacungkan kepalan tangan ke langit,” ujar juru kunci makam Ki Ageng Selo, Priyo.

 

Untuk mengenang kejadian itu, dibuat gambar kilat pada kayu berbentuk ukiran sebesar pintu masjid. Lantas mereka menyerahkannya kepada Ki Ageng Selo. Dengan senang hati Ki Ageng Selo menerimanya dan dipasang di pintu depan masjid Demak. Pintu itu masih bisa dilihat hingga sekarang dengan istilah Lawang Bledheg (Pintu Petir) yang bertuliskan Candra Sengkala yang berbunyi "Nogo Mulat Saliro Wani", bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M.

Kajian Ilmiah tentang Menangkap Petir.

 

 

Jika ditinjau secara ilmiah, bisa nggak sih petir ditangkap?

Hmmm. Ini pertanyaan yang unik malah bisa dibilang aneh, secara teknis petir merupakan fenomena alam yang dihasilkan karena ada perbedaan potensial antara awan dan bumi atau dengan awan lainnya. Proses terjadinya muatan pada awan karena dia bergerak terus menerus secara teratur dan selama pergerakannya dia akan berinteraksi dengan awan lainnya sehingga muatan negatif akan berkumpul pada salah satu sisi (atas atau bawah), sedangkan muatan positif berkumpul pada sisi sebaliknya. Jika perbedaan potensial antara awan dan bumi cukup besar, maka akan terjadi pembuangan muatan negatif (elektron) dari awan ke bumi atau sebaliknya untuk mencapai kesetimbangan. Pada proses pembuangan muatan ini, media yang dilalui elektron adalah udara. Pada saat elektron mampu menembus ambang batas isolasi udara inilah terjadi ledakan suara – yang kita istilahkan dengan Petir. Jadi secara teknis, kita menangkap elektron yang dihantarkan dari atau ke awan.

 

 

Terus, apa yang dimaksud dengan menangkap petir oleh masyarakat dahulu?

Ketika petir mengenai menyambar sebuah bangunan atau pohon maka yang terjadi adalah terbakar atau langsung hangus. Namun, hal yang unik terjadi ketika petir menghantam sebuah area berpasir yaitu saat petir menyentuh permukaan pasir/ tanah/ batu (dengan suhu minimal ~1800 derajat C, beberapa literatur menyebutkan sampai 4000 derajat C) akan melelehkan kandungan silika dalam batuan dan kemudian membeku kembali secara cepat. Akibatnya meninggalkan jejak serupa akar yang tidak beraturan – yang dikenal dengan istilah Fulgurites (batu petir). Kata "Fulgur" berasal dari kalimat lain yang berarti petir. Fulgurites tentunya tidak mudah dijumpai, batu ini biasa di temukan di tempat-tempat terbuka, berpasir dengan sedikit tumbuh-tumbuhan tinggi. Tentunya syarat utamanya adalah daerah dimana petir sering terjadi.

 

 

Hipotesa awal yang belum tentu benar, bahwa kisah menangkap petir di pasir atau bebatuan yang dimaksud oleh masyarakat dahulu adalah fenomena Fulgurites. Untuk membuktikannya, kita perlu ke masa lalu yang belum bisa dilakukan dengan teknologi yang dipakai saat ini. 

 

Dikutip dari Buletin GEOmine edisi Desember 2012 (oleh Bronto Sutopo) dan Viva.co.id

Add comment


Security code
Refresh